Zakat Fitrah
Zakat fitrah dikenal juga sebagai zakat badan, zakat puasa, zakat Ramadan,
dan zakat Fitri karena waktu untuk menyempurnakannya adalah pada akhir Ramadan
dan menjelang Hari Raya Aidilfitri. Zakat fitrah adalah sebagai penyuci orang
yang berpuasa dari perbuatan keji dan buruk juga untuk dijadikan sumber
kebutuhan orang asnaf ketika 1 Syawal (siang & malam).
Ketentuan Zakat Fitrah
Memiliki sesuatu (makanan, harta, atau uang) yang lebih dari kebutuhan diri
sendiri dan kebutuhan orang yang ditanggung nafkahnya untuk satu hari siang dan
malam Hari Raya itu.
Menemukan dua masa - akhir Ramadan dan awal Syawal. Orang yang meninggal dunia sebelum terbenam matahari atau anak yang lahir setelah matahari terbenam malam satu Syawal itu tidak wajib fitrah ke atasnya.
Kewajiban zakat fitrah
Kepala keluarga wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan juga tanggungannya.
Jika salah satu dari tanggungannya meninggal dalam bulan puasa, maka orang itu terlepas dari membayar zakat fitrah.
Menemukan dua masa - akhir Ramadan dan awal Syawal. Orang yang meninggal dunia sebelum terbenam matahari atau anak yang lahir setelah matahari terbenam malam satu Syawal itu tidak wajib fitrah ke atasnya.
Kewajiban zakat fitrah
Kepala keluarga wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan juga tanggungannya.
Jika salah satu dari tanggungannya meninggal dalam bulan puasa, maka orang itu terlepas dari membayar zakat fitrah.
Waktu mengeluarkan zakat fitrah dibagi menjadi 5:
Waktu wajib: Setelah terbenam matahari akhir 30 ramadhan sampai terbit
matahari esoknya.
Waktu yang paling afdhal: Sebelum Solat Sunat Hari Raya.
Waktu sunat: Sepanjang bulan Ramadhan.
Waktu makruh: Setelah solat sunat hari raya sampai terbenam matahari pada
satu Syawal.
Waktu haram: Setelah terbenam matahari satu Syawal.
Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah. Berdasar hadits
berikut, Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, "Rasulullah saw. telah
memfardhukan (mewajibkan) zakat fitrah satu sha 'kurma atau satu sha' gandum
atas hamba sahaya, orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil
maupun tua dari kalangan kaum Muslimin; dan beliau menyuruh agar dikeluarkan
sebelum masyarakat pergi ke tempat shalat 'Idul Fitri. "(Muttafaqun'
alaih: Fathul Bari III: 367 no: 1503, Muslim II: 277 no: 279/984 dan 986, Tirmidzi
II: 92 dan 93 no: 670 dan 672, 'Aunul Ma'bud V: 4-5 no: 1595 dan 1596, Nasa'i
V: 45, Ibnu Majah I: 584 no: 1826 dan dalam Sunan Ibnu Majah ini tidak ada
"WA Amara BIHA ...") .
Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat
fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia
dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa yang
mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat 'id, maka itu adalah zakat yang diterima
(oleh Allah); dan siapa saja yang mengeluarkannya sesuai shalat 'id, maka itu
adalah shadaqah biasa, (bukan zakat fitrah). "(Hasan: Shahihul Ibnu Majah
no: 1480, Ibnu Majah I: 585 no: 1827 dan' Aunul Ma'bud V: 3 no: 1594).
Siapakah Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
Yang wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah orang muslim yang merdeka yang
sudah memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya
untuk sehari semalam. Selain itu, ia juga wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk
orang-orang yang menjadi tanggungannya, seperti istrinya, anak-anaknya,
pembantunya, (dan budaknya), bila mereka itu muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, "Rasulullah saw. pernah memerintah
(kita) agar mengeluarkan zakat untuk anak kecil dan orang dewasa, untuk orang
merdeka dan hamba sahaya dari kalangan orang-orang yang kamu tanggung kebutuhan
pokoknya. "(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 835, Daruquthni II: 141 no: 12 dan
Baihaqi IV: 161).
Besarnya Zakat Fitrah
Setiap individu wajib mengeluarkan zakat fitrah sebesar setengah sha
'gandum, atau satu sha' kurma, atau satu sha 'kismis, atau satu sha' gandum
(jenis lain) atau satu sha 'susu kering, atau yang semisal dengan itu yang
termasuk makanan pokok, misalnya beras, jagung dan semisalnya yang termasuk
makanan pokok.
Adapun mungkin mengeluarkan zakat fitrah dengan setengah sha 'gandum,
didasarkan pada hadits dari' Urwah bin Zubair ra, (ia bertutur), "Bahwa
Asma 'binti Abu Bakar ra biasa mengeluarkan (zakat fitrah) pada masa Rasulullah
saw., untuk keluarganya yaitu orang yang merdeka di antara mereka dan hamba
sahaya - dua mud gandum, atau satu sha 'kurma kering dengan menggunakan mud
atau sha' yang biasa mereka mengukur dengannya makanan pokok mereka.
"(ath-Thahawai II: 43 dan lafadz ini baginya).
Adapun mungkin mengeluarkan zakat fitrah satu sha 'selain gandum yang
dimaksud di atas, mengacu pada hadits dari Abu Sa'id al-Khudri ra ia berkata,
"Kami biasa mengeluarkan zakat fitrah satu sha 'makanan, atau satu sha'
gandum (jenis lain), atau satu sha 'kurma kering, atau satu sha' susu kering,
atau satu sha 'kismis. (Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari III: 371 no: 1506,
Muslim II: 678 no: 985, Tirmidzi II: 91 no: 668,' Aunul Ma'bud V: 13 no: 1601,
Nasa'i V: 51 dan Ibnu Majah I: 585 no: 1829).
Dalam Syarah Muslim VII: 60 Imam Nawawi menegaskan, "Menurut mayoritas
fuqaha tidak bisa mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya (bukan berupa
makanan pokok)."
Andaikata mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya atau uang dibolehkan dan
dianggap mewakili, sudah barang tentu Allah Ta'ala dan Rasul-Nya
menjelaskannya. Oleh karena itu, kita wajib mencukupkan diri dengan zhahir
nash-nash syar'I, tanpa memalingkan (maknanya) dan tanpa pula memaksakan diri
untuk mentakwilkan.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, "Rasulullah saw. pernah memerintah
(kami) agar zakat fitrah dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat ke tempat
shalat "Idul Fitri". (Takhrij haditsnya lihat pembahasan Hukum Zakat
Fitrah, beberapa halaman sebelumnya).
Bagi yang punya, bisa mengeluarkan zakat fitrah satu atau dua hari sebelum
Idul Fitri. Sebab ada riwayat dari Nafi ', mengatakan, "Adalah Ibnu Umar
ra menyerahkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak menerimanya; dan
kaum Muslim yang wajib mengeluarkan zakat mengeluarkannya sehari atau dua hari
sebelum Idul Fitri. "(Shahih: Fathul Bari III: 375 no: 1511).
Haram menunda produksi zakat fitrah sampai di luar waktunya, tanpa adanya
udzur syar'i. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. telah
memfardhukan zakat fitrah (atas kaum Muslimin) sebagai pembersih bagi orang
yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kotor, dan sebagai makanan bagi
orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya seusai shalat 'Idul
Fitri', maka dari itu termasuk shadaqah biasa. "(Nash hadits ini sudah termaktub
dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).
Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Ada delapan golongan yang berhak untuk menerima zakat fitrah menurut Al
Qur’an Al Karim.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2]
orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5]
untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk
jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (Qs. At Taubah:
60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa
zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang
lainnya.[1]
Golongan pertama dan kedua adalah Fakir dan Miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi
kebutuhan mereka. Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih
susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa
fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini, Allah
menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih
parah dari fakir.[2]
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah
orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya.
Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama
sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi
kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya
dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa
memenuhi seluruhnya.[3]
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan.”[4]
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang
mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk
dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob,
maka ia halal untuk mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang
wajib zakat karena hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima
zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan
salah satu pendapat dari Imam Ahmad.[5]
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas ulama.[6]
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah pendapat mayoritas ulama.[6]
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang berkecukupan dan tidak
pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.”[7]
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
“Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang
kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk bekerja, pen)”[8]
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya
namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk
memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam setahun.[9]
Golongan ketiga: Amil Zakat.
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ
اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا
بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى
الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang
berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang,
atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki
tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia
memberikannya kepada orang yang kaya.”[10]
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan
memberikan pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia
bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.[11]
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[12]
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah
para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari
orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil
adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan
mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka
itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang
kaya.”[13]
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang
berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang
diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban
untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat
sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang
yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk
mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak
berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai
wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan
zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan
kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta
upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban
memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”[14]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai
amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk
mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada
di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil
bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang
disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan mengumpulkan zakat adalah sebuah
keniscayaan bagi amil karena amil memiliki kewajiban untuk mengambil zakat
secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk membayar zakat.
Golongan keempat: orang yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
Orang yang lemah imannya namun ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.[15]
Golongan kelima: pembebasan budak.
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[16]
Golongan keenam: orang yang terlilit utang
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
Yang berutang adalah seorang muslim.
Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
Utang tersebut membuat ia dipenjara.
Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
Utang tersebut membuat ia dipenjara.
Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang
lain. Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun untuk
kepentingan orang lain. Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ
بِحَمَالَةٍ بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ
“Sesungguhnya permintaan itu tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu
orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta
hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk
meminta-minta).”[17]
Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai jaminan
utang orang lain). Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang
dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.[18]
Golongan ketujuh: di jalan Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama: Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa
diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan Allah tidak
berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh
kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin.
Kedua: Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[19]
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[19]
Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di
perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[20]
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji
Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan, masjid dan jalan. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan golongan tidak pada yang lainnya.
Para fuqoha berpendapat tidak bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan, masjid dan jalan. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan golongan tidak pada yang lainnya.
Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru ngaji
kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan penerima zakat yang
disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa golongan:
Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.
Termasuk ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
Ahli bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.[21]
Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada beberapa golongan:
Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.
Termasuk ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
Ahli bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam itu.[21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sudah seharusnya setiap orang
memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat dari kalangan fakir,
miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya. Seharusnya yang dipilih
untuk mendapatkan zakat adalah orang yang berpegang teguh dengan syari’at. Jika
nampak pada seseorang kebid’ahan atau kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan
mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin
ia ditolong dalam berbuat maksiat.
Shadaqah Tathawwu '
Sangat dianjurkan memperbanyak shadaqah tathawwu ', (shadaqah sunnah).
Berdasar firman Allah SWT, "Perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
butir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji.
Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. "(Al-Baqarah: 261).
Juga berdasarkan sabda Nabi saw., "Tidak ada suatu ketika segenap hamba
berada di pagi hari melainkan dua puluh malaikat akan turun lalu salah seorang
di antara keduanya berkata, Ya Allah berilah ganti kepada orang tersebut
berinfak itu, dan yang lain berdo'a (juga ), Ya Allah berilah kerusakan bagi
orang yang enggan berinfak itu). "(Muttafaqun 'alaih: Fathul Bari III: 304
no: 1442 dan Muslim II: 700: 1010).
Dan orang yang paling utama memperoleh shadaqah adalah keluarganya dan
kerabatnya. Rasulullah saw. menegaskan, "Sedekah yang diberikan kepada
orang miskin adalah berfungsi sebagai shadaqah, sedang yang diberikan kepada
kerabat (memiliki) dua fungsi; sebagai shadaqah dan sebagai silaturrahmi
(konektor hubungan rahim). "(Shahih: Shahihul Jami'us Shaghir no: 3835 dan
Tirmidzi II: 84 no: 653).
SASARAN PEMBAHAGIAN ZAKAT
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya zakat-zakat ini, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk orang-orang yang
berhutang, untuk di jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. "(At-Taubah: 60).
Ibnu Katsir r.a. ketika menafsirkan ayat ini dalam kitab tafsirnya II: 364
mengatakan, "Tatkala Allah SWT menyebutkan penentangan orang-orang munafik
yang bodoh itu atas penjelasan Nabi saw. dan mereka mengecam Rasulullah tentang
pembagian zakat, maka kemudian Allah SWT menjelaskan dengan gamblang bahwa
Dialah yang membaginya. Dialah yang menetapkan ketentuannya, dan Dialah pula
yang memproses ketentuan-ketentuan zakat itu, sendirian, tanpa intervensi
siapapun. Dia tidak pernah menyerahkan masalah pembagian ini kepada siapapun
selain Dia. Maka Dia membagi-bagikannya kepada orang-orang yang telah
disebutkan dalam ayat di atas.
1. Diri sendiri
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا لِلّهِ تَعَالى
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri fardlu karena Allah Ta'ala
2. Orang tertentu, misal namanya Bejo
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ ...باَجُوْا.... فَرْضًا لِلّهِ تَعَالى
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas Bejo fardlu karena Allah Ta'ala
3. Istri
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ ...زَوْجَتِيْ.... فَرْضًا لِلّهِ تَعَالى
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya sendiri fardlu karena Allah Ta'ala
4. Anak laki-laki
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ ...وَلَدِيْ.... فَرْضًا لِلّهِ تَعَالى
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya fardlu karena Allah Ta'ala
5. Anak perempuan
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ ...بِنْتِيْ.... فَرْضًا لِلّهِ تَعَالى
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas anak perempuan saya fardlu karena Allah Ta'ala
5. Diri sendiri dan orang-orang yang wajib dinafkahi
نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّيْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِيْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا لِلّهِ تَعَالى
Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya dan atas orang-orang yang saya wajib memberikan nafkah kepada mereka secara syari'at, fardlu karena Allah Ta'ala
Semoga bermanfaat....
No comments :
Post a Comment