Friday 8 April 2016

MewaspadaiI Gerakan Kaum LGBT



Oleh: Imron Abdul Rojak
Pemerhati Sosial, Sekjen PM Gatra,
Mengabdi di STAI Al-Musdariyah, Cimahi,

Sebulan terakhir ini, kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender (LGBT) menjadi isu publik yang menyita perhatian publik. Beberapa statsiun televisi mengangkat isu ini sebagai bahan diskusi. Sementara itu, melalui jejaring sosial, para “pejuang LGBT” , pa yang mempromosikan dan memprovokasi tentang pentingnya hidup sebagai LGBT dengan sasaran para remaja. Isu tentang LGBT menjadi semakin meriah ketika Saipul Jamil menjadi tersangka tindak pidana sodomi terhadap laki-laki di bawah umur.

Kita tentu bertanya-tanya apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negeri kepulauan terbesar di muka bumi ini. Korupsi yang menggurita, pembunuhan yang merajalela, narkoba yang menyasar ke semua lapisan warga, kini gerakan LGBT menampakkan  muka di layar kaca. 

Argumen di Balik HAM

Sudah barang tentu kaum LGBT dan para penggiat LGBT akan berlindung dibalik Hak Asasi Manusia. Mereka berargumen bahwa orientasi seksual mereka merupakan fitrah yang tidak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya kaum heteroseksual. Jika kaum heteroksual dilindungi hak-haknya, maka kaum homoseksual (baca: lesbi dan gay) juga menuntut hal yang sama. Ada sekitar 20 negara di dunia yang telah melegalisasi LGBT dan memiliki hak untuk menikah. 

Kalau kita kaji secara seksama, argumen HAM untuk melegalisasi LGBT adalah sebuah kekeliruan. Berdasarkan beberapa penelitian ilmiah secara psikologis orientasi seksual kaum LGBT bukan merupakan fitrah. Orientasi seksual mereka adalah sebuah penyimpangan. Bukan merupakan fitrah tapi disebabkan oleh faktor-faktor aksidental seperti faktor keluarga, patah hati, dll. Atau bisa juga sebagai gaya hidup yang layak untuk diikuti seperti halnya trend dalam mode pakaian. Karena itu, orientasi seksual homoseksual bisa diterapi dan disembuhkan. Untuk penyembuhannya memang variatif. Bisa satu bulan, satu tahun, atau puluhan tahun,

Apalagi kalau kita melihat dari perspektif agama. Semua agama di dunia menganggap bahwa orientasi sesksual homoseksual adalah sebuah penyimpangan. Dalam Islam perilaku seksual sesama jenis bukan saja menyimpang, melainkan juga dikutuk oleh Tuhan. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa perilaku menyimpang homoseksual pertamakali dilakukan oleh kaum Nabi Luth (Qs. Al-A’raf: 80-81). Perilaku kaum Nabi Luth bukan hanya berlebihan melainkan juga sebuah perbuatan keji. Karena itu, Allah Swt. menimpakan adzab kepada mereka dengan menjungkirbalikkan negeri kaum Luth dan menghujaninya dengan batu dari tanah yang terbakar ((Qs. Hud: 82).  

Adzab yang ditimpakakn kepada kaum Nabi Luth tentu sangat beralasan. Betapa tidak manusia yang secara fitrah oleh Tuhan diciptakan secara berpasang-pasangan kemudian mereka melakukan pembangkangan dan pengingkaran terhadap fitrahnya sendiri. 

Dengan demikian dimana logikanya HAM dijadikan dasar untuk legalisasi LGBT? Kita tentu saja sepakat bahwa HAM harus dijaga dan dihormati. Tetapi HAM yang dijungkirbalikkan dan melabrak nilai-nilai dasar agama dan budaya bangsa itu bukan kontraproduktif dengan nilai-nilai dasar HAM itu sendiri. Itu bukan HAM tetapi sebuah pembangkangan dan pengingkaran terhadap HAM itu sendiri. 

Peran Pemerintah 

Kisah kaum Nabi Luth dalam al-Qur’an tentu saja menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Kita tidak mau negeri bahari yang disangga oleh nilai-nilai suci tercabik-cabik oleh budaya Barat yang bukan saja bertentangan dengan HAM, melainkan juga bertentangan dengan nilai-nilai dasar falsafah negara yang religius. 

Karena itu, gerakan LGBT harus diwaspadai. Sebagai sebuah gerakan massif yang dengan gencar mempromosikannya melalui media massa dan jejaring sosial tentunya punya target tertentu. Menurut penulis target mereka adalah legalisasi perliku LGBT seperti negara-negara lain serta penghancuran nilai-nilai agama. 

Karena itu, pemerintah bersama tokoh-tokoh agama dan masayarakat perlu bersinergi melakukan langkah-langkah startegis untuk tindakan preventif. Pemerintah harus bertindak tegas karena gerakan mereka sudah menyasar kalangan remaja. Memblokir situs-situs yang mempromosikan LGBT seperti yang dilakukan terhadap situs-situ radikalisme adalah langkah awal yang bisa dilakukan pemerintah.
Penulis khawatir 10 tahun atau 20 tahun ke depan RUU Tentang LGBT dibahas DPR. Semoga tidak.***