Oleh: Imron
Abdul Rojak
Pemerhati Sosial, Sekjen PM Gatra,
Mengabdi di STAI Al-Musdariyah, Cimahi,
Sebulan
terakhir ini, kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender (LGBT) menjadi isu
publik yang menyita perhatian publik. Beberapa statsiun televisi mengangkat isu
ini sebagai bahan diskusi. Sementara itu, melalui jejaring sosial, para
“pejuang LGBT” , pa yang mempromosikan dan memprovokasi tentang pentingnya
hidup sebagai LGBT dengan sasaran para remaja. Isu tentang LGBT menjadi semakin
meriah ketika Saipul Jamil menjadi tersangka tindak pidana sodomi terhadap
laki-laki di bawah umur.
Kita tentu
bertanya-tanya apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negeri kepulauan
terbesar di muka bumi ini. Korupsi yang menggurita, pembunuhan yang merajalela,
narkoba yang menyasar ke semua lapisan warga, kini gerakan LGBT
menampakkan muka di layar kaca.
Argumen di Balik
HAM
Sudah barang
tentu kaum LGBT dan para penggiat LGBT akan berlindung dibalik Hak Asasi
Manusia. Mereka berargumen bahwa orientasi seksual mereka merupakan fitrah yang
tidak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya kaum heteroseksual. Jika kaum
heteroksual dilindungi hak-haknya, maka kaum homoseksual (baca: lesbi dan gay)
juga menuntut hal yang sama. Ada sekitar 20 negara di dunia yang telah
melegalisasi LGBT dan memiliki hak untuk menikah.
Kalau kita
kaji secara seksama, argumen HAM untuk melegalisasi LGBT adalah sebuah
kekeliruan. Berdasarkan beberapa penelitian ilmiah secara psikologis orientasi
seksual kaum LGBT bukan merupakan fitrah. Orientasi seksual mereka adalah
sebuah penyimpangan. Bukan merupakan fitrah tapi disebabkan oleh faktor-faktor
aksidental seperti faktor keluarga, patah hati, dll. Atau bisa juga sebagai
gaya hidup yang layak untuk diikuti seperti halnya trend dalam mode pakaian.
Karena itu, orientasi seksual homoseksual bisa diterapi dan disembuhkan. Untuk
penyembuhannya memang variatif. Bisa satu bulan, satu tahun, atau puluhan
tahun,
Apalagi kalau
kita melihat dari perspektif agama. Semua agama di dunia menganggap bahwa
orientasi sesksual homoseksual adalah sebuah penyimpangan. Dalam Islam perilaku
seksual sesama jenis bukan saja menyimpang, melainkan juga dikutuk oleh Tuhan.
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa perilaku menyimpang homoseksual pertamakali
dilakukan oleh kaum Nabi Luth (Qs. Al-A’raf: 80-81). Perilaku kaum Nabi Luth
bukan hanya berlebihan melainkan juga sebuah perbuatan keji. Karena itu, Allah
Swt. menimpakan adzab kepada mereka dengan menjungkirbalikkan negeri kaum Luth
dan menghujaninya dengan batu dari tanah yang terbakar ((Qs. Hud: 82).
Adzab yang
ditimpakakn kepada kaum Nabi Luth tentu sangat beralasan. Betapa tidak manusia
yang secara fitrah oleh Tuhan diciptakan secara berpasang-pasangan kemudian
mereka melakukan pembangkangan dan pengingkaran terhadap fitrahnya sendiri.
Dengan
demikian dimana logikanya HAM dijadikan dasar untuk legalisasi LGBT? Kita tentu
saja sepakat bahwa HAM harus dijaga dan dihormati. Tetapi HAM yang
dijungkirbalikkan dan melabrak nilai-nilai dasar agama dan budaya bangsa itu
bukan kontraproduktif dengan nilai-nilai dasar HAM itu sendiri. Itu bukan HAM
tetapi sebuah pembangkangan dan pengingkaran terhadap HAM itu sendiri.
Peran
Pemerintah
Kisah kaum
Nabi Luth dalam al-Qur’an tentu saja menjadi bahan refleksi bagi kita semua.
Kita tidak mau negeri bahari yang disangga oleh nilai-nilai suci tercabik-cabik
oleh budaya Barat yang bukan saja bertentangan dengan HAM, melainkan juga
bertentangan dengan nilai-nilai dasar falsafah negara yang religius.
Karena itu,
gerakan LGBT harus diwaspadai. Sebagai sebuah gerakan massif yang dengan gencar
mempromosikannya melalui media massa dan jejaring sosial tentunya punya target
tertentu. Menurut penulis target mereka adalah legalisasi perliku LGBT seperti
negara-negara lain serta penghancuran nilai-nilai agama.
Karena itu,
pemerintah bersama tokoh-tokoh agama dan masayarakat perlu bersinergi melakukan
langkah-langkah startegis untuk tindakan preventif. Pemerintah harus bertindak
tegas karena gerakan mereka sudah menyasar kalangan remaja. Memblokir
situs-situs yang mempromosikan LGBT seperti yang dilakukan terhadap situs-situ
radikalisme adalah langkah awal yang bisa dilakukan pemerintah.
Penulis
khawatir 10 tahun atau 20 tahun ke depan RUU Tentang LGBT dibahas DPR. Semoga
tidak.***
No comments :
Post a Comment